Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah lepas dari
komunikasi. Dari mulai kita bangun tidur sampai kemudian tertidur
kembali, komunikasi selalu menjadi kegiatan utama kita entah itu
komunikasi verbal atau non verbal, entah itu komunikasi antar pribadi
atau komunikasi organisasi.
Hal seperti ini memang telah menjadi kodrat kita sebagai seorang
manusia yang memang tidak dapat hidup sendiri. Kita selalu membutuhkan
orang lain disekitar kita, walaupun hanya untuk sekedar melakukan
obrolan basa-basi karena manusia adalah makhluk sosial dan dari dalam
interaksi itulah manusia lambat laun menciptakan nilai-nilai bersama
yang kemudian disebut sebagai kebudayaan.
Dalam nilai-nilai yang terbentuk tersebut terdapat beberapa kaidah
yang bertujuan mengatur tata cara kita berkomunikasi antar sesama tanpa
menyakiti hati dan menjunjung tinggi etika sebagai sebuah tanda
penghargaan pada lawan bicara kita. Namun terkadang pemakaian sesuatu
yang kita anggap sebuah etika dapat berakibat pada sesuatu yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan kesalahpahaman antar sesama. Mengapa hal
itu bisa terjadi? Padahal tujuan kita menggunakan etika adalah untuk
mencoba menghargai khalayak.
Pemakaian etika dalam konteks komunikasi antar pribadi memiliki
paradoks tersendiri. Di lain pihak, hal ini dapat menjadi hal yang
positif namun terkadang sesuatu yang negatif dan cenderung merusak dan
memperburuk keadaan juga dapat terjadi. Berbagai hal dinilai bertanggung
jawab atas hal ini. Dari mulai cara kita berkomunikasi antar sesama
sampai pada saat kita menggunakan etika dalam berinteraksi.
Persoalan etika yang potensial selalu melekat dalam setiap bentuk
komunikasi antar pribadi sehingga komunikasi dapat dinilai dalam dimensi
benar-salah, melibatkan pengaruh yang berarti terhadap manusia lain,
sehingga komunikator secara sadar memilih tujuan-tujuan tertentu yang
ingin dicapai dan cara-cara komunikasi guna mencapai tujuan tersebut.
Apakah seorang komunikator bertujuan menyampaikan informasi,
meningkatkan pemahaman seseorang, memudahkan keputusan yang bebas pada
orang lain, menawarkan nilai-nilai yang penting, memperlihatkan
eksistensi dan relevansi suatu persoalan sosial, memberikan sebuah
jawaban atau program aksi atau memicu pertikaian—persoalan etika yang
potensial terpadu dalam upaya-upaya simbolik sang komunikator.
Demikianlah keadaannya pada sebagian besar komunikasi pribadi, baik
komunikasi antara 2 orang, dalam kelompok kecil, dalam retorika gerakan
sosial maupun dalam hubungan masyarakat.
Bahkan muncul ungkapan bahwa manusia adalah satu-satunya hewan” yang
secara harfiah dapat disebut memiliki nilai”. Lebih khusus lagi,
barangkali esensi tertinggi manusia adalah homo ethicus, manusia adalah
pembuat penilaian etika. Tetapi muncul pertanyaan, mengapa mempersoalkan
etika dalam komunikasi antar pribadi? Jelas, dengan menghindari
pembicaraan mengenai etika dalam komunikasi, orang akan bersandar pada
berbagai macam pembenaran: (1) setiap orang tahu bahwa teknik komunikasi
tertentu adalah tidak etis jadi tidak perlu dibahas; (2) karena yang
penting dalam komunikasi hanyalah masalah kesuksesan maka masalah etika
tidak relevan; (3) penilaian etika hanyalah masalah penilaian individu
secara pribadi sehingga tak ada jawaban pasti; dan (4) menilai etika
orang lain itu menunjukkan keangkuhan atau bahkan tidak sopan.
Secara potensial timbul ketegangan antara ” kenyataan” dan
“keharusan”, antara yang aktual dan yang ideal. Mungkin terdapat
ketegangan antara apa yang dilakukan setiap orang dengan apa yang
menurut kita harus dilakukan oleh orang tersebut. Mungkin terdapat
konflik antara komunikasi yang kita pandang berhasil dan penilaian
teknik tersebut tidak boleh digunakan karena cacat menurut etika. Kita
mungkin terlalu menekankan pemahaman tentang sifat dan efektivitas
teknik, proses dan metode komunikasi dengan mengorbankan perhatian pada
masalah etika tentang penggunaan teknik-teknik seperti itu. Kita harus
menguji bukan hanya bagaimana, melainkan juga apakah kita secara etis harus
, memakai berbagai macam metode dan pendekatan. Masalah “apakah”, jelas
bukan hanya penyesuaian khalayak, melainkan maslah etika. Kita boleh
merasa bahwa tujuan-tujuan etika itu tidak dapat dicapai secara nyata
sehingga tidak banyak manfaatnya.
Bagaimana para peserta dalam sebuah transaksi komunikasi pribadi
menilai etika dari komunikasi itu, atau bagaimana para pengamat luar
menilai etikanya, akan berbeda-beda tergantung pada standar etika yang
mereka gunakan. Sebagian diantara bahkan mungkin akan memilih untuk
tidak mempertimbangkan etika. Namun demikian, masalah etika yang
potensial tetap ada meskipun tidak terpecahkan atau tidak terjawab.
Apakah seorang komunikator menginginkan penilaian etika atau tidak?
Komunikan umumnya akan menilai, secara resmi ataupun tidak resmi, upaya
komunikator berdasarkan standar etika yang relevan menurut mereka. Jika
bukan karena alasan lain, selain alasan pragmatik, yakni untuk
kesempatan meningkatkan kesuksesan , komunikator perlu mempertimbangkan
kriteria etis para khalayaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar